Di sudut kamar itu, terlihat seseorang sibuk menulis di atas lembaran kertas double folio, kata demi kata dirangkai, tersusun indah dan rapi sehingga tuntas setelah dua jam. Kertas itu kemudian dilipat dengan rapi kemudian dimasukkan ke dalam amplop lengkap dengan prangko. Kertas tadi kemudian dikirim lewat kantor pos dan tunggu, kertas yang lain datang ke tangan si penulis tadi, sebagai balasan, itupun setelah menunggu beberapa minggu karena di kantor pos, berjubel kertas yang sama yang siap dikirim. Ya, itulah surat!
Beda kasusnya dengan pemuda ini. Dia sibuk membolak balik buku tebal yang membosankan. Kenapa membosankan? Hidup hanya sia-sia jika hanya membaca buku yang penuh dengan nomor telepon, berbaris-baris, seperti ulat. Tapi kata bosan tidak bagi pemuda ini. Pekerjaannya menuntut untuk mempromosikan beberapa produk perusahaannya lewat telpon, saking rajinnya menyebabkan operator telpon merasa stress karena harus menyambung panggilannya, setiap menit.
Fenomena terbesar dan momentumnya bisa dirasakan seperti efek ledakan nuklir yang merambah ke mana-mana, ya, itu dia! Short Message Service atau SMS. Ketika itu beberapa perusahaan selular memproduksi variasi hp dengan layar monokrom dengan nada monofonik dan polifonik, yang membuat si pengguna bangga karena harganya jutaan rupiah. Mereka akan pede memperlihatkan hp spesies ini, hanya sekedar bermain game “snake” atau smsan dan yang paling seru, mendengarkan lagu kesukaan meskipun cuma nada.
Tahun terus berganti dan teknologi informasi datang dan pergi, semuanya hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia yaitu komunikasi. Myspace, Friendster, Facebook, Twitter, Blackberry Messenger, Whatsup, Wechat, Line dan banyak lagi hadir ditengah-tengah kita hanya dengan satu tujuan yaitu komunikasi. Jika di zaman purba, manusia berkomunikasi menggunakan asap, burung merpati yang terlatih, utusan yang membawa surat, butuh waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan tetapi kemudian hadir telepon kabel dan sekarang nirkabel ( wireless ), informasi itu bisa sampai dalam hitungan detik, hanya satu yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi.
Kebutuhan?Apakah komunikasi itu suatu kebutuhan? Jika ada yang bertanya seperti ini, pasti jawabannya adalah “iya”. Tetapi ketika melihat gambaran dunia sekarang, ketika informasi bisa menyebar dalam hitungan detik, ketika manusia bisa memiliki yang namanya mobile phone (HP)*, paling tidak bisa mengirim sms, pertanyaan tadi bisa berubah menjadi “tidak”.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang “dikutuk” untuk bisa berbahasa, bermain kata dengan susunan yang indah sehingga bisa membangun sebuah peradaban. oleh karena itu, berkomunikasi adalah suatu kebutuhan bahkan sebuah kewajiban karena kita tidak bisa hidup tanpa berkomunikasi, paling tidak dengan satu atau dua orang. Kita bisa berinteraksi, bertegur sapa, menanyakan kabar, berbagi informasi dan sebagainya sehingga bisa membangun keakraban. Namun, apa yang terjadi sekarang adalah kebalikannya.
Di sebuah kafe di tengah-tengah ibu kota, terlihat beberapa remaja atau istilah galaunya, ABG lagi nongkrong sambil mencicipi segelas cappucino. Terkadang mereka cekikikan, bercerita tentang banyak hal, tetapi jari jemari mereka sibuk mengetik di atas layar smartphone, sekedar mengirim “ping!” atau emo “ :) ”. Ketika kehabisan cerita, masing-masing akan fokus ke smartphone masing-masing, cekikikan sendiri-sendiri. Suasana akrab dirampas oleh kesibukan mereka itu. Jika dulu ada istilah “yang jauh mendekat, yang dekat merapat” tetapi sekarang sudah tergantikan menjadi “yang jauh mendekat yang dekat menjauh”. Ironis bukan?
Kasus di atas adalah sebuah gambaran kehidupan manusia hari ini. Ada sebuah istilah terkenal “we live in the era of smart phones and stupid people”. Bukan bermaksud menyinggung yang memiliki smartphone ( dalam kasus ini, penulis tidak memiliki smart phone, hehe ) tetapi ketergantungan kita pada “benda” ini membuat kita tidak produktif, malas berpikir, mencari jalan yang termudah dari yang termudah, bahkan bisa sampai ketergantungan yang akut. Seberapa sering kita memegang hp kita minimal satu hari? Atau membalas sms / chat? Menjawab telepon?
Teknologi adalah alat untuk mempermudah tetapi bukan berarti kita harus bergantung padanya. Seberapa banyak perguruan tinggi menghasilkan sarjana copy paste? Atau siswa bahasa google translation? Bagaimana jika tiba-tiba terjadi badai matahari yang dahsyat dan mematikan semua komunikasi satelit di langit dan bumi? Dan hal ini tidak mustahil untuk terjadi.
Baru-baru ini, seorang mahasiswa S2 di UGM DI Yogyakarta dengan perasaan sebal dan jengkel menulis kata-kata penghinaan di Path sehingga menimbulkan gelombang kemarahan masyarakat Yogja. Sebut saja FS, sebelum menulis status penghinaan itu, ingin mengisi bensin di salah satu tempat pengisian bensin di Yogja, sialnya, dia menyerobot antrean yang panjang membludak. FS merayu supaya diisikan bensin karena ( katanya) terburu-buru ke rumah sakit, tetapi tidak diladeni oleh pegawai yang bertugas karena takut bisa menimbulkan kecemburuan dari para pengendara yang sudah lama antre. Alhasil, FS menulis kata-kata penghinaan terhadap masyarakat Yogja di Path dan dalam hitungan detik, statusnya tersebar ke mana-mana. Gelombang kemarahan onliner bermunculan, baik dari masyarakat Yogja bahkan dari luar. Di Twitter, kasus ini sempat menjadi trending dunia. Akhir sekali, FS menjadi tahanan polisi karena telah dilaporkan oleh beberapa ormas.
Sebagai penutup, ada suatu kisah tentang seorang laki-laki separuh abad. Wajahnya tegas dan bulu kumis dan jenggot menutupi sebagian wajahnya itu. Matanya memancarkan kebijaksanaan. Keinginannya untuk menciptakan sebuah alat yang bisa membuat manusia berkomunikasi dari jarak yang jauh timbul setelah melihat kondisi anak-anak tunarungu yang tidak bisa mendengarkan apa-apa, tidak bisa menikmati bunyi-bunyian. Alhasil, dia bisa menciptakan sebuah alat yang sangat sederhana, dihubungkan dengan kabel, bisa digunakan untuk komunikasi jarak jauh. Setelah lama meninggal dunia, tiba-tiba laki-laki itu bangkit dari persemayamannya dan terkejut, bagaimana dia bisa merevolusikan dunia hanya dengan satu alat yaitu telepon. Ya, dialah sang inventor, Alexander Graham Bell.

0 comments:
Post a Comment